Tugas
Teknologi Legum, Sereal, dan Umbi Serat Herbal
BIJI SAGA POHON

Disusun
Oleh:
Kelompok
4
1.
Atikah
Puspitasari U (H0909013)
2.
Fidya
Amalia Sasty (H0909030)
3.
Puji
Pawestri Rahayu (H0909056)
4.
Syifa
Nurani (H0909065)
5.
Andri
Andristian (H1911001)
6.
Nur
Wachidah R (H1911011)
PROGRAM STUDI ILMU DAN
TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS
MARET SURAKARTA
2012
A.
BOTANI
1.
Definisi
Saga pohon (Adenanthera pavonina)
adalah salah satu jenis leguminousa yang
buahnya menyerupai petai (tipe polong) dengan bijinya kecil
berwarna merah. Saga umum dipakai sebagai pohon peneduh di jalan-jalan besar.
Dahulu biji saga dipakai sebagai penimbang emas karena
beratnya yang selalu konstan. Daunnya dapat dimakan dan mengandung alkaloid yang berkhasiat bagi penyembuhan reumatik. Bijinya mengandung asam lemak sehingga
dapat menjadi sumber energi alternatif (biodiesel).
Kayunya keras sehingga banyak dipakai sebagai
bahan bangunan serta mebel. Dalam biji Saga ini
sendiri terkandung protein dalam jumlah yang cukup tinggi sehingga Saga mampu
memproduksi biji kaya protein serta punya ongkos produksi yang murah.
Benih hanya dapat tumbuh
jika tergores (diskarifikasi), direbus selama 1 menit, atau direndam dalam asam
sulfat. Hal ini menunjukan bahwa di alam, benih tersebut harus dimakan dan
melewati system pencernaan hewan sebelum proses perkecambahan. Bunga-bunga yang
kecil baunya samar-samar seperti bunga pohon jeruk. Bunganya berbentuk kecil,
kekuningan, harum, padat merapat bunganya. buahnya matang jika warna kulit
luarnya berubah warna dari hijau menjadi cokelat, melengkung, menggulung dan
terbelah dan mengeluarkan biji merah yang cerah (Anonim, 2012).
2.
Taksonomi
(USDA,
2012).
Gambar


3.
Struktur tanaman
biji saga

Adenanthera
pavonina atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan biji saga merupakan
pohon yang berukuran sedang hingga besar, dengan tinggi 6-15 meter dan
berdiameter hingga 45 cm, tergantung lokasi tumbuhnya. Pada umumnya pohon
tersebut tegak, mempunyai kulit kayu coklat tua hingga keabu-abuan, kulit kayu
bagian dalamnya lunak, cokelat pucat, kelopaknya berjalar, umumnya beberapa
berakar, seperti ditopang batang pohon yang sudah tua. Daunnya berpasangan atau
menyirip sampai puncaknya, 2-6 pasang daun muda yang berlawanan, masing-masing 8-21 daun muda pada tangkai yang pendek, oval
lonjong, dengandasar yang asimetris dengan puncak yang tumpul, hijau kusam pada
bagian puncaknya dan biru kehijauan pada bagian bawah, daun menguning dengan
bertambah usia pohon tersebut (Orwa et all, 2009).
Pohon berukuran sedang, tinggi dapat mencapai
40 m, diameter dapat mencapai 45 cm
bahkan lebih, menggugurkan daun, pada umumnya tidak berbanir, permukaan kulit batang
beralur berwarna cokelat keabua-abuan, kulit bagian dalam lunak berwarna cokelat
pucat. Tajuk pohon bentuk menyebar tidak
merata. Daun tersusun spiral,
panjang 15 – 55 cm, bentuk lonjong, menyirip rangkap dengan
2–6 pasang sirip, anak daun 4 –
10, berseling, bentuk bundar telur atau bundar telur membalik, ukuran daun 1,5 – 4,5 cm x 1 – 2,2 cm,
bertepi rata. Berdaun penumpu kecil dan berbulu. Perbungaan terminal
atau diketiak daun terdapat banyak bunga, menyerupai tandan panjang 12–30 cm
(termasuk gagang bunga). Bunga kecil warna putih kekuningan, masing-masing terdiri 5
bagian, daun kelopak agak meroda,
sedikit berbulu, daun mahkota lonjong, bulu jarang, berkatupan; benang sari 10, satu sama
lain terpisah; bakal buah menumpang,
mempunyai satu ruang dengan banyak bakal biji. Buah saga
telik berbentuk polong warna cokelat, ukuran polong 15 – 25cm x 1,3 - 1,8 cm, polong memuntir, isi
polong berbiji sampai 25 biji, polong pecah melalui kampuh pada kedua sisinya.
Biji berwarna merah, mengkilat,
lonjong, agak bundar-bundar telur terbalik, ukuran biji 7 – 9 mm
x 7–9,5mm, cembung. Jumlah biji
terdapat 3200 – 3400 butir/kg
(KusmanadanSofar, 2010).
Daun majemuk menyirip genap,
tumbuh berseling, jumlah anak daun bertangkai 2-6 pasang, helaian daun
6-12 pasang, panjang tangkainya mencapai 25 cm, daun berwarna hijau muda. Bunga kecil-kecil berwarna kekuning-kuningan, korola
4-5 helai, benang sari berjumlah 8-10 ( Pasific
Island Ecosistems at Risk, 2004). Polong berwarna hijau, panjangnya
mencapai 15 sampai 20 cm, polong yang tua akan kering
dan pecah dengan sendirinya, berwarna coklat kehitaman. Setiap
polong berisi 10-12 butir biji. Biji dengan garis tengah 5-6 mm, berbentuk segitiga tumpul, keras dan berwarna
merah mengkilap (Stone, 1970 yang dikutip Topilab, 2005).
Bijnya memiliki pleuragramatau permukaan lateral garis
merekah yang mengikuti kontur biji dan membuka pada akhir hilar. Hilum berbentu
kelips, kadang-kadang tertutup oleh aril dan kayu, dan berlekuk.
Endospermanya banyak, terletak pada permukaan
embrio, dan tembus pandang, serta tergelatinisasi jika bertemu dengan air. Embrio
yang kuning memiliki poros yang lurus dan hampir simetris. Kotiledon berbentuk seperti
biji (Rocas, 2012).
B.
URAIAN PROSES PENGOLAHAN
1.
Tempe Saga
Tempe adalah
makanan khas Indonesia
sedangkan definisi menurut
SNI No. 01-3144-1992 adalah
produk makanan hasil fermentasi
biji kedele oleh kapang tertentu, berbentuk padatan kompak dan berbau khas
serta.berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Pembuatan Tempe dilakukan dengan
proses fermentasi, yaitu dengan menumbuhkan kapang Rhizopus oryzae pada kedelai
matang yang telah dilepaskan kulit epidermisnya.
Permasalahan
kebutuhan terhadap kedelai di dalam negeri dan meningkatnya konsumsi tempe
mendorong untuk mencari alternatif
yang dapat memecahkan
permasalah yaitu terpenuhinya
sumber protein pengganti
kedelai sebagai bahan dasar
pembuatan tempe namun
tanpa menghilangkan kandungan gizinya. Biji saga pohon dapat
menjadi alternatif bahan baku tempe, karena senyawa gii di dalamnya tidak jauh
beda dengan kedelai. Tabel di bawah menerangkan kandungan gizi bij saga pohon,
kedelai, kacang hijau, kacang tanah, dan kecipir.
Secara
umum, proses pembuatan tempe kedelai dimulai dari pencucian, pengupasan,
pengukusan, peragian, pembungkusan, dan inkubasi. Tempe saga pun melalui
tahapan proses yang sama. Namun, karena terdapat beberapa karakteristik biji
saga pohon yang memerlukan perhatian lebih, maka beberapa tahapan juga
dilakukan sedikit perlakuan tambahan dari proses pembuatan tempe kedelai.
Urutan dan uraian pengolahan tempe saga berikut berdasarkan dari penelitian
Haryoko dan Nova (2006) serta Gustiningsih dan Dian (2011):
a.
Pencucian
Biji saga dicuci untuk
menghilangkan atau memisahkan kotoran yang menempel pada kulit biji saga.
b.
Perebusan
Perebusan bukan
merupakan proses pematangan, melainkan proses penghilangan bau langu dari biji
saga. Proses ini dilakukan selama 40-45 menit. Dalam penelitian Haryoko dan
Nova (2006), soda kue ditambahkan dalam perebusan. Soda kue berfungsi sebagai
agen penghilang bau langu yang disebabkan oleh senyawa anti-tripsin (Supriyadi,
2003).
c.
Pencucian ulang
Pada tahap ini, selain
dicuci, biji saga juga diremas-remas agar kulitnya yang berwarna merah
terkelupas. Kulit biji saga sangat keras dan terlindung lapisan lilin, sehingga
pada sumber lain terdapat modifikasi proses di mana sebelum diremas-remas
terlebih dahulu biji saga tersebut direndam selama 36 jam untuk memudahkan
pengupasan.
d.
Perendaman
Perendaman dapat
dilakukan setelah bij terkelupas ataupun sebelum terkelupas. Tujuan perendaman
setelah biji terkelupas adalah untuk menghilangkan bau langu kembali. Sedangkan
perendaman sebelum biji terkelupas akan memudahkan proses terkelupasnya kulit
biji saga. Tujuan umum perendaman sendiri adalah untuk menurunkan pH oleh
karena tumbuhnya bakteri asam laktat sehingga dapat mencegah pembusukan. Namun
demikian, hal tersebut tidak akan mematikan kapang yang akan ditumbuhkan
sebagai agen fermentasi.
e.
Pengukusan
Biji saga yang telah
terkelupas dikukus selama 30 menit didalam panci yang berisi air. Pengukusan
dilakukan untuk menghilangkan bau juga. Bau langu yang ditimbulkan biji saga
sangat kuat sehingga perlu dilakukan beberapa tahap penghilangan bau langu.
f.
Pengeringan
Setelah dikukus, biji
saga ditiriskan dari tempat perebusan untuk kemudian dikeringkan. Dapat pula
pengeringan dilakukan dengan cara menghilangkan air dalam panci lalu memasaknya
lagi di atas kompor dengan terus diaduk. Pengadukan harus terus dilakukan agar
biji saga tidak hangus. Pengeringan penting dilakukan karena proses peragian
harus dlaam keadaan kering.
g.
Peragian
Ragi ditambahkan
sejumlah 2 gram untuk setiap kilogram biji saga kering. Ragi tempe yang
digunakan sama dengan ragi tempe kedelai pada umumnya yaitu Rhizopus oryzae.
Menurut Aguskrisno (2011) kapang inilah yang berperan dalam mengompakan tekstur
tempe saga. Biji saga akan disatukan oelh miselia yng dihasilkan kapang
tersebut. Selain itu, kapang tersebut dapat menghasilkan enzim yang dapat
merombak protein biji saga menjadi asam-asam amino yang lebih sederhana dan
lebih mudah diserap tubuh.
h.
Pembungkusan
Biji saga yang telah
dicampur ragi kemudian dibungkus. Kemasan yang digunakan dapat berupa daun
pisang, daun jati, maupun plastik. Namun, jika menggunakan kemasan plastik maka
bagian atas dan bawah nya perlu dilubangi. Pemberian lubang didasarkan pada
sifat Rhizopus oryzae yang aerob. Hal tersebut sesuai dengan Scory dkk (1998)
yaitu Rhizopus oryzae secara aerobic dapat mengubah glukosa dalam medium kimia
menjadi L-asam laktat. Lalu, Rhizopus oryzae bukan merupakan tipe organisme
yang tumbuh di bawah kondisi anaerob.
i.
Inkubasi
Bungkusan tempe
diinkubasi atau didiamkan dalam ruangan yang kering dan memiliki sirkulasi
udara yang cukup. Tempe akan jadi setelah inkubasi 36 jam. Atau setelah 16 - 18
jam, bungkusan dibalik agar tidak berkeringat, lalu dilanjutkan inkubasi
kembali selama 14 – 16 jam. Menurut Sarwono (1996) inkubasi juga dapat
dilakukan selama 48 jam, asalkan tidak lebih dari itu karena tempe dapat busuk.
2.
Susu Saga
Susu merupakan salah satu minuman yang
banyak mengandung protein dan
vitamin, dan oleh karena itu banyak
dikonsumsi oleh hampir semua golongan umur.
Salah satu syarat mutu susu yang baik adalah kadar protein
minimal 3%. Susu dapat dibuat dari jenis tanaman kacang-kacangan
karena di dalamnya terkandung protein
yang cukup besar, contohnya kedelai. Selain kedelai, terdapat beberapa jenis tanaman kacang-kacangan yang memiliki potensi kandungan protein cukup besar,
salah satunya buah Saga. Pembuatan susudari biji buah Saga
diharapkan dapat menjadi alternative pengganti nutrisi protein susu sapi
dan susu kedelai.
Pembuatan susu biji saga mirip dengan pembuatan susu kedelai.
Untuk pembuatan susu kedelai, pertama kedelai
dibersihkan lalu dicuci bersih, direbus sekitar 15 menit, direndam semalam
dengan air bersih, dicuci dan dikupas kulitnya, digiling atau diblender,
ditambah air panas 1:8, dan disaring. Filtrat yang diperoleh lalu ditambah gula
dan bahan lain sesuai perlakuan. Fitrat disaring kembali, lalu dipanaskan
sambil diaduk (tidak sampai mendidih). Susu kedelai yang diperoleh kemudian
dimasuk- kan dalam botol steril dan direbus 10-15 menit lalu botol ditutup.
Botol berisi susu direbus lagi 15 menit lalu didingin- kan. Selanjutnya susu
siap disimpan.
Proses pembuatan susu biji saga menurut Yunanta dan Frederikus
(2009) yaitu, biji saga ditimbang masing-masing 50
gram untuk tiap variabel percobaan,
kemudian direndam dalam 200 ml larutan NaHCO3 0,5% selama 15 menit. Biji saga dicuci berkali-kali hingga
bersih. Kemudian biji saga digiling selama 2 menit dan ditambahkan air dengan variabel penambahan
jumlah air sebanyak 50 ml, 100 ml, 150 ml, 200 ml, 250 ml hingga berbentuk bubur. Selanjutnya
bubur tersebut dimasak dan suhu dijaga konstan pada 70oC dan 90oC selama 5
menit tercapai suhu tersebut. Bubur kemudian disaring menghasilkan
filtrat.Filtrat
itulah yang disebut susu saga.
C.
PENGARUH PROSES PENGOLAHAN
1.
Pada Susu Saga
Kandungan protein saga mentah adalah
yang tertinggi (48,2 %) dibandingkan kedelai (34,9%), kacang hijau (22,2%),
kacang tanah (25,3%), dan kecipir (32,8%).
Berdasarkan hasil yang didapat dari
penelitian Nugraha dan Seta (2009), dapat dikatakan bahwa biji buah Saga
dapat menjadi salah satu alternatif bahan baku dalam pembuatan susu. Ini tak
lepas dari kadar protein susu Saga terbaik, yaitu sebesar 3,812. Kadar protein
susu Saga tersebut lebih baik dari kadar protein yang terkandung dalam susu
sapi (2,90) dan ASI (1,90), dan tidak kalah bila dibandingkan dengan susu
kedelai (4,40).
Hasil penelitian Rizatullah (2005)
menunjukkan bahwa pengaruh suhu pengovenan terhadap parameter yang diamati
adalah protein terbaik adalah pada suhu pengovenan terendah yaitu pada suhu
50oC dengan nilai 58,58%. Sedangkan suhu pengovenan tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap kadar abu, daya larut dan lemak. Pada uji organoleptik susu
dari biji saga tidak begitu disukai karena aroma langu yang ditimbulkan biji
saga.
Seperti halnya pada tempe saga,
dimunkinkan senyawa-senyawa antinutrisi yang terkandung dalam biji saga sudah
hilang saat diolah menjadi susu saga. Perendaman, perebusan, dan pemanasan
dapat melarutkan senyawa-senyawa antinutrisi pada biji saga seperti senyawa
antiprotease, phitohemaglutinin, dan saponin, sehingga susu saga aman untuk
dikonsumsi.
2.
Pada Tempe Saga
a.
Kandungan Gizi
Tabel
Hasil Analisa Proksimat Biji Saga Rebus dan Tempe Saga serta Presentase
Perubahannya
Komposisi
Kimia
|
Biji
Saga Rebus
|
Tempe
Saga
|
Persentase
Perubahan
|
Air
(%), db
|
188,87
|
205,55
|
+8,83
|
Abu
(%), db
|
3,76
|
3,73
|
-0,78
|
Lemak
(%), db
|
39,87
|
37,61
|
-5,67
|
Protein
(%), db
|
26,41
|
29,77
|
+12,72
|
Karbohidrat
(%), db
|
29,96
|
28,89
|
-3,57
|
Sumber:
Kumoro (2012)
Berdasarkan tabel di atas, terdapat
beberapa komposisi gizi tempe saga yang meningkat dan ada beberapa juga yang menurun jika
dibandingkan dengan biji saga rebus. Peningkatan kadar air disebabkan aktivitas
katabolisme dari kapang Rhizopus yang menghasilkan energi dan hasil samping
berupa karbondioksida dan air. Semakin lama proses fermentasi, semakin tinggi
pula kandungan air dalam tempe.
Penurunan kadar abu dalam tempe saga
dimungkinkan karena kapang tempe yang menggunakan beberapa elemen mineral untuk
pertumbuhan dan bereproduksi. Selain abu, kandungan lemak tempe saga juga
mengalami penurunan jika dibanding biji saga rebus. Hal tersebut karena kapang
tempe memiliki aktifitas lipolitikyang menyebabkan terjadunya perubahan lemak
menjadi bentuk yang lebih sederhana yaitu asam lemak. Selain itu, kapang juga
menggunakan lemak sebagai salah satu substrat metabolismenya untuk diubah
menjadi energi atau ATP.
Kadar protein total dari saga rebus dan
tempe saga meningkat setelah proses fermentasi. Selama fermentasi tempe,
terjadi perombakan protein oleh kapang menjadi asam amino sehingga secara
kualitas terjadi peningkatan mutu protein, namun secara kuantitas seharusnya
tidak terdapat perubahan karena protein hanya bertransformasi menjadi bentuk
yang lebih sederhana. Sedangkan untuk karbohidrat, tempe saga mengalami
penurunan yang disebabkan aktifitas katabolisme kapang yang menggunakan
karbohidrat sebagai salah satu sumber energinya selain lemak dan protein selama
proses (Kumoro, 2012).
b.
Kapasitas Antioksidan
Tabel
Analisa Kapasitas Antioksidan Biji Saga Rebus dan Tempe Saga (db)
Kapasitas
Antioksidan
|
Biji
Saga Rebus
|
Tempe
Saga
|
Presentase
Perubahan
|
Total
Fenol (mg/100 g sampel)
|
0,21
|
0,33
|
+57,14%
|
Aktivitas
DPPH (%DPPH/mg sampel)
|
0,03
|
0,12
|
+300%
|
Sumber:
Kumoro (2012)
Berdasrkan tabel di atas, terjadi
peningkatan total fenol yang cukup besar yaitu sbesar 57,14% setelag biji saga
rebus diolah menjadi tempe. Kenaikan yang tinggi ini dsebabkan selama proses
fermentasi berlangsung terjadi perubahan beberapa senyawa menjadi bentuk
sederhana atau tidak terikat yang memiliki sifat bioaktif yang lebih tinggi.
Aktifitas kapang tempe menyebabkan beberapa komponen fenolik yang terikat oleh
senyawa organik menjadi senyawa fenol bebas. Selain itu, tempe saga juga
menglami peningkatan aktifitas penangkapan radikal DPPH yang signifikan yaitu
tiga kali lipat dari sebelum fermentasi. Hal tersebut disebabkan adanya
peningkatan senyawa fenol selama fermentasi. Peningkatan pengikatan radikal
bebas berkolerasi dengan kandungan total
fenolnya. Senyawa fenol memiliki sifat antioksidan yang dapat mencegah
kerusakan akibat reaksi oksidasi. Biji saga diketahui mengandung tanin,
alkaloid, flavonoid, dan kardiak glikosida.
c.
Kandungan serat Pangan
Tabel
Hasil Analisa Dietary Fiber Biji Saga rebus dan Tempe Saga (db)
Serat
Pangan
|
Biji
Saga Rebus
|
Tempe
Saga
|
Persentase
Perubahan
|
Serat
Pangan Tidak Larut, %
|
1,62
|
0,81
|
-50%
|
Serat
Pangan Larut, %
|
2,46
|
1,78
|
-27,64%
|
Serat
Pangan Total, %
|
4,08
|
2,57
|
37%
|
Sumber: Kumoro (2012)
Berdasarkan hasil penelitian Kumoro
(2012), diketahui serat pangan dari biji saga rebus menurun setelah fermentasi.
Penurunan serat pangan ini disebabkan adanya degradasi atau hidrolisa beberpa
komponen serat oleh kapang selama fermentasi tempe menjadi gula sederhana.
d.
Kandungan Senyawa
Antinutrisi
Menurut Muchtadi et al. (1985) dalam
Rozany (1986), pada biji saga pohon terdapat senyawa antinutrisi seperti
antitripsin, antikimotripsin, phitohemaglutinin, saponin, phitat, dan
oligosakarida. Pada biji saga pohon mentah mengandung senyawa antitripsin dan
antikhimotripsin dalam kadar lebih tinggi, dibandingkan kedele, yaitu 356,2
unit penghambat tripsin (TUI) dan 583,6 unit penghambat khimotripsin (CUI) per
miligram protein. Sedangkan pada kedele hanya mengandung 66-233 (TUI) dan 39-85
(CUI) per miligram protein. Antitripsin dapat menghambat aktifitas enzim
proteolitik sehingga menyebabkan rendahnya nilai gizi dan daya cerna protein. Antitripsin
dapat menyebabkan pengeluaran enzim-enzim proteolitik berlebihan sehingga
terjadi pembesaran pankreas. Pengaruh pemanasan dan pengolahan tradisional
terhadap aktifitas antiprotease terdapat pada tabel berikut ini.
Tabel Pengaruh Pemanasan dan
Pengolahan Tradisional Terhadap Aktivitas Antiprotesa Biji Saga
Perlakuan
|
Antitripsin
(mg
TPI/g protein)
|
Antikhimotripsin
(CUI/mg
protein)
|
Tepung
saga mentah
|
244,2
|
583,6
|
Pemanasan
uap 100oC, 60 menit
|
131,2
|
310,5
|
Pemanasan
uap 100oC, 120 menit
|
63,1
|
148,8
|
Perebusan
100oC, 60 menit
|
43,3
|
88,8
|
Perebusan
keping biji 100oC, 60 menit
|
0,2
|
0
|
Tempe
saga
|
0,5
|
0
|
Sumber: Muchtadi et al, 1985 dalam Rozany, 1986
Keterangan : TPI = Pure Trypsin Inhibitor
CUI
= Khimotrypsin Inhibitor
Dapat dilihat dalam tabel tersebut biji
saga sangat tahan terhadap pemanasan. Namun pengolahan biji saga menjadi tempe
dapat menghilangkan zat antinutrisi tersebut karena adanya perlakuan pemanasan
selama proses pembuatannya.
Seperti halnya antiprotease,
phitohemaglutinin atau lektin adalah protein yang dapat menurunkan nilai gizi
dan daya cerna protein kacang-kacangan. Namun, phitohemaglutinin pada biji saga
pohon hanya ditemukan dalam kadar kecil sekali (5 HU/mg protein) dibandingkan
dengan kacang kedelai (60-426 HU/mg protein), sehingga dapat disimpulkan bahwa
peranan phitohemaglutinin terhadap nilai gizi biji saga hampir tidak ada,
karena aktifitasnya sangat rendah dan mudah dihancurkan (Muchtadi et al. 1985
dalam Rozany, 1986). Jadi sangat
dimungkinkan kandungan phitohemaglutinin pada tempe saga hilang dalam proses
pembuatannya.
Senyawa antinutrisi lain adalah saponin.
Saponin mempunyai aktifitas hemolitik, dapat menghambat aktifitas enzim
proteolitik. Perlakuan perebusan menyebabkan menurunnya kadar saponin saga
pohon karena pelarutan saponin ke dalam
air perebus (Muchtadi et al. 1984 dalam Rozany 1986).
e.
Karakteristik Fisik
Keadaan fisik biji saga mentah yang
keras mengakibatkan tingginya daya tahan biji saga tersebut selama penyimpanan
karena tidak mudah ditembus atau dimakan serangga dan rayap (Rozany, 1986).
Kelebihan tempe Saga yang terbentuk dibandingkan tempe dari kedelai, yaitu
tekstur tempe yang lebih lembut daripada tempe dari kedelai dan tempe saga
tidak cepat menjadi tempe busuk dan dapat disimpan selama 2 minggu di dalam
lemari es (Anonim, 2010).
Tabel
Karakter Fisik Tempe Saga dengan Ragi Instan dan Pembungkus Daun Pisang
Variabel
|
Tempe saga hari ke-0
|
Tempe saga hari ke-1
|
Tempe saga hari ke-2
|
Tempe saga hari ke-3
|
Tekstur
|
Tidak keras
|
Sangat keras
|
Sangat keras
|
Agak keras
|
Aroma
|
Tidak mneyengat
|
Tidak menyengat
|
menyengat
|
menyengat
|
Warna
|
putih
|
putih
|
putih
|
Putih kecoklatan
|
Miselia
|
Sangat sedikit
|
Sangat banyak
|
banyak
|
Agak banyak
|
Sumber: Haryoko dan Kurnianto (2009)
Berdasarkan Tabel di atas, terdapat
perbedaan nyata karakter fisik tempe saga hari ke-0 dan hari ke-3 fermentasi.
Pada hari ke-3, tempe saga menjadi agak keras, berbau menyengat, berwarna putih
kecoklatan, dan memiliki miselia yang agak banyak.
Masih dalam penelitian Haryoko dan
Kurnianto (2009), uji organoleptik yang dilakukan kepada 30 responden
memberikan hasil bahwa responden lebih menyukai tempe kedelai daripada tempe
saga baik dari segi rasa dan aroma. Sedangkan untuk segi tekstur, responden
lebih menyukai tekstur tempe saga.
f.
Karakteristik Sensori
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Kumoro (2012), dari hasil analisa sensori dengan kontrol
pembanding tempe kedelai terhadap 30 Panelis, didapatkan bahwa tempe saga dari
semua parameter yang diujikan mendapat respon yang positif bahwa tempe saga
berbeda dengan tempe kedelai. Responden lebih menyukai tempe saga dari segi
warna dan tekstur. Warna tempe saga lebih cerah dan teksturnya lebih lembut.
Sedangkan dari segi aroma dan rasa, responden lebih menyukai tempe kedelai. Hal
tersebut dikarenakan tempe saga yang masih memberikan aroma yang agak langu dan
rasa yang agak pahit. Ditinjau dari penilaian keseluruhan parameter, secara
statistik kualitas sensori tempe saga tidak jauh berbeda dari tempe kedelai.
Meskipun dari segi rasa dan aroma masih sedikit dibawah tempe kedelai, namun
warna dan tekstur saga lebih baik sehingga dapat menutup kekurangan dari segi
rasa dan aroma.
D.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Saga pohon (Adenanthera
pavonina) adalah salah satu jenis leguminosa yang
buahnya menyerupai petai (tipe polong) dengan bijinya kecil
berwarna merah.
2.
Struktur tanaman
saga yaitu : pohon dengan batang yang berkayu dan bercabang. Akar tunggang,
kuat, putih kotor. Batang tegak, berkayu, bulat, permukaan halus, batang muda ungu,
percabangan simpodial, batang berwarna hitam keputih-putihan.
3.
Saga dapat diolah
menjadi susu, tempe, tahu dan permen.
4.
Pembuatan susu dari
biji buah Saga diharapkan dapat menjadi alternative pengganti nutrisi protein
susu sapi dan susu kedelai.
5.
Biji saga pohon dapat
menjadi alternatif bahan baku tempe, karena senyawa gizi di dalamnya tidak
jauh beda dengan kedelai.
6. Beberapa komposisi kimia dalam tempe saga mengalami peningkatan
setelah fermentasi seperti kandungan air dan protein yang masing-masing meningkat
8,83% dan 12,72%. Sementara komposisi abu, lemak, dan karbohidrat mengalami penurunan
masing-masing sebesar 0,78%, 5,67%, dan 3,57%.
7. Total fenol dan aktifitas penangkapan radikal DPPH
tempe saga mengalami peningkatan dibanding saga rebus, masing-masing meningkat
57,14% dan 300%.
8. Kandungan serat pangan tempe saga menurun dibandingkan
biji saga rebus.
9. Kandungan senyawa-senyawa anti gizi seperti anti tripsin, anti kimotripsin,
phitohemaglutinin pada biji saga dilaporkan dapat dihilangkan setelah biji saga
difermentasikan menjadi tempe.
10. Karakteristik tempe saga hari ketiga teksturnya agak
keras, warna putih kecoklatan, aroma menyengat, dan miselia yang agak banyak.
11. Kualitas sensori dari tempe saga tidak berbeda nyata dengan
tempe kedelai meskipun darisegi rasa dan aroma tempe kedelai lebih baik namun dari
segi tekstur danwarna tempe saga lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aguskrisno. 2011. Peranan Rhizopus oryzae pada Industri Tempe
dalam Peranan Peningkatan Gizi Pangan. www.google.com
Diakses pada hari Senin, tanggal 2 april 2012 pukul 21.08 WIB.
Gustiningsih, Dini dan
Dian Andrayani. 2011. Potensi Koro Pedang
(Canafalia ensiformis) dan Saga Pohon (Adhenanthera pavonina) sebagai
Alternatif Substitusi Bahan Baku Tempe. Program Kreativitas Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Haryoko, Muhammad dan
Nova Kurnianto. 2006. Pembuatan Tempe
Saga (Adenanthera pavonia L.) Menggunakan Ragi Tepung Tempe dan Ragi Instan. Makalah
Seminar Penelitian Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Semarang.
Hau, Debora
Dana, dkk. 2006. Biji Saga Pohon (Adenantherapavonina, Linn)
Sebagaisumber Protein Alternatif Bagi TernakAyam. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner.Kupang.
Kumoro, Kartiko Cahyo. 2012. Potensi
Biji Saga Pohon (Adenanthera pavonina, Linn) sebagai Bahan Baku Tempe; Sensori,
Kuallitas Gizi, Serat Pangan, dan Kapasitas Antioksidan.
Scory, Christopher D;
Shelby N. Freer; Rodney J. Bothast. 1998. Production
of L-lactic Acid by Rhizopus oryzae
Under Oxigen Limiting Condition. Biotechnology Letters Vol. 20 No. 2. pp
191-194. United State.
Supriyadi, Gatot. 2003.
Membuat Susu Kedelai dan Tahu. Direktorat
Pendidikan Menengah Kejurusan. Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan
Menengah. Departemen Pendidikan Nasional.
Yunanta,
Arnoldus dan Frederikus Tunjung Seta. 2009. Pembuatan
Susu Dari Biji Buah Saga ( Adenantherapavonina)
Sebagai Alternatif Pengganti Nutrisi Protein Susu Sapi Dan Susu Kedelai. Makalah Seminar Penelitian
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Anonim. 2012. Saga Tree. http://www.naturia.per.sg/buloh/plants/saga_tree.htm. Diakses Rabu 4 April 2012.